Loading Now

“Senandung di Loker Nomor 13”

Pagi itu, langit tampak muram, seolah ikut menatap sedih langkah seorang gadis bernama Nadia, siswi kelas 11 di SMA Nusa Bangsa. Tubuhnya kecil, wajahnya pucat, dan matanya selalu menunduk. Setiap langkah di koridor sekolah terasa berat, bukan karena beban buku di tasnya, tapi karena tatapan tajam dan bisikan yang menertawakannya di setiap sudut.

“Ih, liat deh, si rambut lepek datang lagi!”
“Wangi shampo-nya kayak air got, haha!”

Tawa itu menusuk seperti jarum yang menembus kulit hati. Nadia sudah terbiasa — atau setidaknya, ia berusaha membiasakan diri. Tapi kenyataannya, tak ada manusia yang sungguh bisa terbiasa disakiti.

Setiap hari, Nadia menerima bentuk penghinaan yang berbeda: disiram air saat di toilet, disembunyikan sepatu olahraganya, atau disebarkan foto editan wajahnya dengan kata-kata keji di grup kelas. Pelakunya selalu sama — Rani, siswi populer dengan senyum manis tapi hati sekeras batu.

Rani punya geng: Sinta dan Dewi, dua sahabat yang tak kalah kejamnya. Mereka menikmati setiap kali melihat Nadia menunduk dan menahan tangis. Dunia seolah menganggap mereka benar hanya karena cantik dan disukai guru.


  1. Surat yang Tak Pernah Dibaca

Di meja belajarnya yang sederhana, Nadia menulis surat dengan tulisan gemetar.

“Aku capek… aku cuma ingin berhenti. Kalau nanti aku gak ada, tolong jangan cari aku. Aku gak kuat lagi.”

Surat itu diselipkannya di buku catatan favoritnya, di antara halaman 43 dan 44 — halaman yang berisi puisi tentang “rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah.”

Malam itu, ia menatap cermin cukup lama. Wajahnya terlihat asing. Mata sembab, bibir kering, dan tatapan kosong. Di pantulan kaca, seolah ada bayangan lain yang menatap balik — lebih dingin, lebih sunyi.

“Kalau aku pergi… apa mereka akan berhenti tertawa?”

Tak ada jawaban.


  1. Hari Itu

Keesokan paginya, sekolah seperti biasa: ramai, riuh, dan penuh gosip. Namun, siang hari, suasana mendadak berubah.

Nadia ditemukan di gudang sekolah — tergantung dengan tali sepatu di atas balok kayu, tubuhnya menggantung diam.

Geng Rani yang pertama kali menemukan, menjerit histeris. Tapi di sela tangisan pura-pura itu, Rani sempat melihat sesuatu — di dinding belakang tempat Nadia menggantung, tertulis dengan darah:

“Kalian senang sekarang?”

Tulisan itu membuat seluruh sekolah gemetar ketakutan. Kepala sekolah memerintahkan semua siswa untuk pulang. Tapi rumor beredar lebih cepat dari doa: katanya, arwah Nadia belum pergi.


  1. Setelah Kepergian

Tiga hari berlalu. Di grup kelas, semua siswa berpura-pura sedih. Tapi di antara percakapan itu, ada pesan anonim yang muncul tiba-tiba:

“Rani, kamu ingat apa yang kamu lakukan di toilet minggu lalu?”

Rani terdiam membaca pesan itu. Tidak ada nama pengirim, tapi pesan itu muncul tepat pukul 00:13 malam — angka yang sama dengan nomor loker Nadia di sekolah: Nomor 13.

Awalnya ia pikir itu lelucon. Tapi keesokan paginya, ketika ia membuka loker pribadinya, aroma busuk menusuk hidung. Di dalamnya, ada rambut panjang basah, seperti baru dicabut dari kepala seseorang.

Di bawahnya, ada secarik kertas bertuliskan tulisan tangan yang sangat dikenalnya:

“Aku masih di sini, Rani…”

Rani terjatuh, menjerit, tapi ketika dipanggil guru, rambut itu sudah lenyap. Tidak ada siapa pun yang percaya padanya.


  1. Sinta Mendengar Nyanyian

Sinta, anggota geng kedua, mulai mengalami hal-hal aneh. Ia sering mendengar suara lirih ketika berjalan sendirian di koridor:

🎵 “Na… di… a… di sini…” 🎵

Awalnya ia mengira itu ilusi. Tapi suatu sore, saat membersihkan ruang musik, ia menemukan piano tua terbuka dengan sendirinya. Tuts-nya bergerak perlahan memainkan melodi pelan yang terdengar seperti lagu Nina Bobo.

Tangannya gemetar. Ia mencoba menutup tutup piano itu, tapi dari balik kaca, ia melihat refleksi wajahnya berubah — bukan dirinya, tapi wajah pucat Nadia, dengan leher berbekas tali.

“Mainkan lagu itu lagi, Sin…”

Sinta menjerit ketakutan dan berlari keluar ruangan. Tapi sebelum sempat mencapai pintu, tali piano melilit lehernya sendiri dari belakang.

Esok paginya, penjaga sekolah menemukannya tergantung — posisi yang sama seperti Nadia.


  1. Dewi di Dalam Cermin

Dewi mencoba menolak semua rumor. Katanya, Sinta bunuh diri karena ketakutan. Tapi malam itu, saat ia sedang berdandan di depan cermin kamar, listrik mendadak padam.

Ia menyalakan lilin, dan di pantulan cermin, ada dua bayangan: dirinya dan… sosok gadis di belakangnya. Rambut panjang, leher bengkok, dan mata hitam menatap kosong.

“Kau ingat waktu kau menendang sepatuku ke got, Dewi?”

Dewi berbalik — kosong. Tidak ada siapa pun.

Ketika ia menatap cermin lagi, sosok itu kini berdiri lebih dekat, menempel di punggungnya.

“Giliranmu sekarang.”

Cermin itu pecah dengan sendirinya. Potongan kaca mengenai wajah Dewi. Ia menjerit dan pingsan. Esoknya, ia ditemukan tewas di kamarnya, darah berceceran di lantai membentuk huruf “N” besar.


  1. Rani dan Loker Nomor 13

Tinggal Rani sendiri. Ia tidak tidur berhari-hari, setiap malam mendengar suara langkah di kamarnya. Kadang-kadang, ada ketukan di jendela padahal ia tinggal di lantai dua.

Suatu malam, Rani bermimpi. Ia melihat Nadia duduk di ruang kelas sendirian, mengenakan seragam putih abu-abu yang sama, tapi wajahnya penuh luka. Di papan tulis tertulis:

“Aku hanya ingin kau minta maaf.”

Ketika Rani terbangun, jam menunjukkan 00:13 lagi. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Tapi dorongan aneh membuatnya keluar rumah malam itu dan menuju sekolah.

Sekolah gelap, tapi pintu gerbang terbuka. Ia berjalan pelan, hanya diterangi cahaya ponsel. Saat sampai di koridor kelas, terdengar suara ketukan logam dari arah loker.

Tok… tok… tok…

Loker nomor 13 terbuka sendiri, berderit pelan. Di dalamnya, tergantung foto Rani dan gengnya waktu sedang menertawakan Nadia. Tapi kali ini, wajah mereka disilang dengan darah — kecuali Rani.

“Aku belum selesai denganmu,” suara lirih itu terdengar dari belakang.

Rani berbalik. Nadia berdiri di sana, wajahnya membusuk, mata hitam pekat menatap tajam.

“Aku… aku minta maaf!” Rani menangis tersungkur.

“Terlambat…” bisik Nadia.

Tangannya terulur, dingin seperti es, menyentuh pipi Rani. Saat itu juga, tubuh Rani terlempar ke loker, pintu menutup keras dengan suara logam berderak.

Keesokan paginya, penjaga sekolah menemukannya terperangkap di dalam loker nomor 13 — wajahnya membeku dalam ketakutan, matanya terbuka lebar.


  1. Setelah Dendam Usai

Beberapa minggu kemudian, sekolah itu ditutup. Terlalu banyak kejadian ganjil yang membuat siswa takut datang. Tapi warga sekitar sering melaporkan sesuatu aneh:
Setiap malam Jumat, terdengar nyanyian lembut dari dalam gedung:

🎵 “Na… di… a… di sini…” 🎵

Dan di koridor yang sepi, loker nomor 13 selalu terbuka sedikit — dengan buku catatan berdebu di dalamnya.

Di halaman 43, masih ada tulisan tangan halus milik Nadia:

“Aku tidak ingin mati… aku hanya ingin berhenti disakiti.”


  1. Epilog: Surat yang Ditemukan

Beberapa bulan setelah sekolah itu ditutup, seorang guru baru yang ditugaskan membersihkan arsip menemukan sebuah buku catatan dengan sampul biru muda. Di dalamnya ada puisi-puisi sedih, dan di halaman terakhir tertulis kalimat yang membuatnya merinding:

“Aku sudah tidak marah lagi… tapi jika ada yang menyakiti seperti aku dulu, aku akan datang untuk menemaninya.”

Malam itu, guru tersebut bersumpah melihat sesosok gadis berseragam berdiri di depan jendela kelas, tersenyum pelan sambil berbisik:

“Jangan biarkan mereka sendirian seperti aku dulu…”

Dan sejak saat itu, tak ada yang berani menempati sekolah itu lagi.

Home » “Senandung di Loker Nomor 13”

Share this content:

138b8bcc3accec6d540d7273cac528ad547c61bf332916c9007a2fff00bf1368?s=150&d=mp&r=g “Senandung di Loker Nomor 13”
Web |  + posts

Post Comment